Selasa, 20 Juli 2010

Ada Emas di Lembah Cibaliung - Pangalengan




Begitu menggoda ajakan mengikuti Tur Urat Emas Pangalengan pada medio April lalu. "Kita akan ke penambangan emas di Pangalengan," kata T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia. Wow! Jujur saja, selama tinggal di Bandung, baru kali ini saya mendengar ada tambang emas.
Digarap liar pula. Perjalanan menantang segera terbayang.

Dengan mengendarai truk TNI, kami pun memulai--begitu nama kegiatan itu--dari depan taman Ganesha Institut Teknologi, Bandung. Peserta sebanyak 32 orang terdiri atas peneliti geografi dan geologi, guru geografi, wartawan, pekerja swasta, dan mahasiswa.

Saya memilih naik truk yang diisi para guru geografi dan peneliti dari Museum Geologi, dengan harapan bisa mendengar banyak kisah di sepanjang perjalanan.

Lokasi tambang emas itu berada di perbatasan Pangalengan, Kabupaten Bandung, dengan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Bandung ke arah selatan.
Menghindari kemungkinan macet di daerah Baleendah, sopir mengarahkan truk melewati Cimahi. Belum sejam sampai di daerah Nanjung, badan sudah terasa pegal-pegal. Maklum, sejak berangkat tulang punggung dan bokong terus beradu dengan kursi kayu panjang. Tak jarang penumpang harus duduk terlonjak-lonjak. Dalam kecepatan sedang, enam roda truk terasa benar sulit berkelit dari tebaran lubang jalanan.

Duduk di deretan paling belakang membuat mata leluasa melahap pemandangan sawah, pegunungan, sungai, yang diselingi permukiman penduduk. Perbukitan cadas, yang di bawahnya terdapat perkampungan, memanjang di sebelah kanan kami. Tebing di daerah Nanjung hingga Soreang, pusat pemerintahan Kabupaten Bandung, itu, konon, dulu merupakan pematang yang membelah danau raksasa Bandung purba menjadi sisi timur dan barat. "Kita sekarang sedang melintasi pantainya," ujar Bachtiar, yang di sepanjang perjalanan saling bertukar cerita kocak dengan seisi truk.

Saya sulit membayangkan rupa danau itu dulu. Terbentang begitu luas hingga Padalarang di sisi barat Bandung, dasar danau itu adalah wilayah Kota Bandung sekarang. Dan bukti danau itu bak lautan kecil adalah pegunungan karst yang terbentuk dari karang danau. Menyembul karena proses pergerakan kulit bumi, batuan karst itu kini menjadi sumber nafkah pengusaha dan penambang batu kapur di daerah Citatah, Padalarang.

Matahari mulai menyengat ketika truk berkelak-kelok di jalan pegunungan, tanda bahwa kami sudah di daerah Pangalengan. Hawa sejuk khas pegunungan menyelusup. Di bawah sana tampak punggung perbukitan berlapis sayur-mayur.

Memasuki Situ Cileunca, kami terpesona oleh gumpalan asap putih tebal yang membubung dan menyatu dengan awan putih di langit. Truk berhenti di sisi danau buatan pemerintah Belanda untuk irigasi itu. Asap tersebut berasal dari pembangkit listrik tenaga uap di Pegunungan Wayang-Windu. Setelah menikmati dan mengambil gambar, sejumlah peserta perempuan sibuk mencari rumah penduduk untuk buang air kecil. Sebagian peserta laki-laki memilih mencari kebun kosong untuk urusan yang sama.

Perjalanan dilanjutkan. Di dekat Rumah Jerman, truk berhenti. Dari kejauhan, rumah tua itu berdiri sendiri di kaki bukit. Kolam besar melatari di bagian depan, dan perkebunan teh di sekitarnya.

Selepas gerbang Cukul Estate, truk kembali berhenti untuk mengangkut delapan guru geografi dari berbagai SMA untuk bergabung. Cukul Estate adalah perumahan bagi sekitar 100 keluarga petani teh. Memasuki perkebunan teh, jalan mulus segera lenyap. Batu-batu lancip memenuhi lebar jalan yang hanya cukup dilintasi satu mobil itu. Kecepatan truk menyurut.

Merayap tapi pasti, mesin diesel meraung-raung. Beberapa kali truk mengaso sejenak di jalur menanjak. Di sisi kiri dan kanan, bergantian lereng kebun teh menganga dengan kemiringan 30-45 derajat. Ketegangan tersemai.

Mulut seorang ibu guru terlihat sibuk berkomat-kamit membaca doa agar semuanya selamat. Dia menyarankan peserta berjalan kaki dari sini.

Truk ngotot ingin melibas medan. "Masak sopir tentara nyerah," seloroh penumpang.
Rupanya sopir punya ketegangan sendiri ketika beberapa kali memutuskan berhenti. Dia meminta seluruh penumpang duduk agar keseimbangan truk terjaga.

Sambil tetap berdoa, saya mengusir jauh-jauh bayangan bahwa truk bakal terguling. Horor itu akhirnya berlalu setelah 15 menit. Tiba di tanjakan yang berkelok patah 180 derajat, sopir akhirnya menyerah. Penumpang satu per satu turun. Dari tempat setinggi 1.464 meter dari permukaan laut itu, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki menyusuri perkebunan teh.

Menyusuri jalan setapak, peserta harus berjalan antre. Beberapa ada yang tergelincir karena jalan licin dan berair. Perjalanan menerabas hutan itu pun menghabiskan sekitar setengah jam.

Mendekati lembah Cibaliung, gemericik air Sungai Cibaliung terdengar sayup-sayup. Suaranya makin jelas ketika kami tiba di salah satu gua penambang. Jalan masuk gua yang di sekitarnya ditumbuhi semak belukar itu disangga pilar-pilar dan atap kayu. Di depan gua, serpihan bebatuan putih berserakan. Sisa material lainnya ditumpuk dan dinaungi terpal plastik. Untuk memasuki lorong sempit dan gelap itu, kami hanya bisa bergantian satu per satu sambil membungkukkan badan.

Begitu sampai di ujung lorong yang berjarak delapan meter, tiga penambang laki-laki tampak berada di dalam. Sebuah senter terikat pada kepala salah seorang penambang, yang berusia sekitar 20 tahun. Tak kuat berlama-lama di dalam gua yang pengap, saya memutuskan keluar dengan cara berjalan mundur setengah berjongkok. Dari gua itu, saya menyusul rombongan di depan yang sudah memasuki perkampungan penambang di bawah sana.

Bedeng-bedeng penambang yang dibangun dari kayu dan terpal plastik itu begitu kumuh, seperti kandang ternak. Berukuran enam meter persegi, naungan itu dibagi untuk kamar tidur, dapur, dan tempat kerja. Salah satunya dihuni Sarman, 23 tahun. Lelaki berkulit gelap itu mengaku sudah ada di sana sejak 2000. Menurut dia, di sini ada lebih dari 100 penambang yang hampir seluruhnya berasal dari Desa Mekar Mukti, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, termasuk dirinya. Kampung itu sendiri terletak di balik lembah Sungai Cibaliung, berjarak, "Dua jam jalan (kaki)," katanya.
View Larger Map

Saat itu, dia sempat memperlihatkan hasil temuannya setelah menggali dua hari dua malam di sebuah lubang. Dari bungkus kain lusuh berwarna merah, dia mengeluarkan batu logam berwarna perak seukuran kelereng. Di dalam batu seberat 4 gram itu, katanya, ada emas. Setiap bulan, dia biasa mendapat 10-15 gram emas yang biasa ia jual ke toko perhiasan di daerah Banjaran, Bandung. Hasilnya dibawa pulang ke keluarganya saban 15 hari sekali. "Uangnya hanya cukup untuk makan," ujarnya.

Makmur, seorang peserta yang juga peneliti dari Museum Geologi Bandung mengatakan, dari batuan seberat 4 gram itu, paling hanya 30 persennya atau 1,2 gram yang menjadi emas. Sisanya adalah perak dan tembaga, yang sering dibuang begitu saja oleh penambang.

Pagi atau malam, para penambang mulai bekerja memahat batuan kuarsa yang keras di gua, lalu memasukkannya dalam karung. Tidak asal memahat, mereka mencari rekahan batuan di dinding gua. Rekahan seukuran garis tipis itulah, menurut Makmur, yang disebut urat emas. Rekahan itu adalah jalan bagi mineral, seperti emas, perak, dan tembaga, dari hasil kegiatan gunung api. Gunung itu sendiri diperkirakan telah mati.

Pecahan kuarsa selanjutnya diangkut ke bedeng. Batuan itu lalu ditumbuk dengan palu besi hingga hancur menjadi seukuran biji kacang. Butiran-butiran itu selanjutnya dimasukkan dalam gelundung, sebuah silinder dari besi seukuran galon air mineral yang diikat pada kayu. Gelundung yang diputar oleh arus sungai selama 12 jam menghasilkan butiran batu halus. Pengumpulan emas dalam butiran itu lantas diproses dengan kucuran air raksa alias merkuri.

Saya meninggalkan Sarman, yang masih ingin menuntaskan pekerjaannya memecah batu. Bergabung dengan peserta yang sudah membuka bekal makan siangnya, lokasi yang dipilih adalah sebuah batu besar di tengah sungai. Dari arah belakang, lamat-lamat terdengar lagu dari radio di salah satu bedeng di belakang kami. Dari mana listriknya? Penasaran, saya bergegas berkeliling kampung penambang setelah beres makan. Salah seorang penambang dengan gamblang menjelaskan asal listrik itu. Dia membawa saya ke tepi sungai lainnya yang berjarak sekitar 15 meter dari tempat kami makan siang.

Ternyata sumber listrik itu berasal dari tenaga air. Para penambang membuat turbin sederhana dengan bantuan dinamo dari mesin motor Honda CB. Dari situ, listrik mengalir hingga 250 watt, lalu dibagi untuk lima rumah. Daya sebesar itu, katanya, cukup untuk menyalakan lampu neon, alat-alat listrik bertenaga 15 watt, dan mengisi ulang baterai telepon seluler secara bergantian. Turbin itu, ujarnya, sudah dipasang dua tahun karena minyak tanah semakin susah. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, para penambang membeli beras dan lauk-pauk serta minyak goreng di warung perkampungan lain.

Dari obrolan dengan penambang lain, mereka mengaku penambangan yang mereka lakukan adalah liar. Tiap bulan, katanya, mereka kerap disambangi petugas pemerintah daerah Garut yang meminta mereka pergi. Berdalih tak ada pekerjaan lain, para penambang tak menggubris larangan itu sehingga petugas pun tak bisa berbuat lebih jauh. Sejauh ini, kata mereka, tak ada seorang penambang pun yang tewas karena kecelakaan kerja.

Setelah pamit meneruskan perjalanan, kami menaiki lembah untuk mencapai lokasi lain: Curug (air terjun) Cibaliung. Menyusuri jalan setapak yang licin, kami disambut penambang lain yang membangun bedeng di dekat curug. Untuk mencapai curug, kami harus melewati titian gelondongan kayu yang melintang licin di tengah sungai. Di bawahnya, gelundungan berputar cepat dihantam arus sungai. Perlu kehati-hatian tinggi di titian ini kalau tidak ingin terpeleset. Untungnya, tak ada satu pun peserta yang tercebur ke sungai.

Curug itu berada di celah sempit berketinggian sekitar 10 meter. Jarak antardinding yang mengapitnya sekitar tiga meter. Kami cukup menikmatinya dari jarak agak jauh dengan air dingin sungai yang merendam hingga sebatas pangkal paha orang dewasa. Saking senangnya, saya sampai lupa isi saku celana. Begitu sadar, buku catatan dan sebungkus rokok serta korek api basah terendam. Beruntung, kamera saku hanya basah sedikit tersiram embusan air terjun. Saya segera ke sisi sungai membungkus semua peralatan yang masih kering. Dari langit, rintik hujan mulai turun.

Hujan turun dengan lebat, kami pun berteduh di saung penambang. Peserta segera mengenakan ponco dan jas hujan. Saya memilih berbasah ria karena rindu bermain hujan. Didesak sore, kami meneruskan perjalanan di tengah hujan lebat dan cuaca dingin. Dari sini, rombongan terpecah menjadi dua. Kelompok pertama memilih kembali ke jalur kedatangan, sedangkan kelompok kedua, termasuk saya, memilih jalur terusan. Jalur ini, menurut penambang, lebih dekat dan cepat walau jalannya mendaki dan penuh bebatuan. Benar saja semua keterangan itu. Setelah semuanya berkumpul, truk membawa pulang kami secara hati-hati, menjaga kepuasan perjalanan itu yang tak luruh oleh hujan.


Sumber :
ANWAR SISWADI
http://www.tempointeraktif.com/hg/perjalanan/2009/08/02/brk,20090802-190260,id.html

2 Agustus 2009




1 komentar: